Senin, 02 November 2015

Kehilangan

Standard

Matahari tergelincir menyorot langit dalam sudut yang menyilaukan mata. Seorang anak kecil berlari kecil menghampiriku. “Kakak liat dehh aku punya banyak koleksi stiker” ujarnya bangga memamerkan koleksi stikernya.
“Stikernya cuma dikumpulin gitu, kenapa ga dipake ditempelin dimanaa gituu?” tanyaku penasaran
“Engga ahh sayangg stikernya bagus dari bu guru” ujarnya sambil terus memegangi stiker
“dari bu guru?” tanyaku lagi
“Iya kak kann aku bisa ngapalin al-qur’an lebih cepet dari temen aku jadi dikasih stiker dehh”
Ternyata sebuah apresiasi berpengaruh sebegitu besarnya terhadap seorang anak, dia sangat mencintai stikernya bukan hanya karna stiker tersebut bagus tetapi lebih karna penghargaan yang ia dapat. Setelah percakapan singkat itu saya pun mengantar anak tersebut pulang. Di persimpangan jalan terlihat sekumpulan remaja menikmati angin sore, mereka hanya menikmati waktu yang bergulir sambil membicarakan tentang beberapa hal seperti mengagumi lawan jenis, cita-cita, masa depan, dan harapan. Mereka begitu bersemangat sampai mereka tidak tahu hakikat apa yang mereka bicarakan dan terlalu sibuk menetukan arah tanpa tahu tujuan yang sebenarnya.
Kami terus berjalan hingga sampai di depan rumah bapak dan ibu anak kecil tadi sudah siap menyambut anaknya, setelah anak tersebut masuk ke kamarnya, saya pun pamit pulang. Saat saya hendak keluar terdengar suara bapak ibunya yang sedang mendiskusikan banyak hal seperti masa depan anaknya, kelangsungan hidup keluarga, dan banyak hal serius di dalamnya, tapi semakin bertambahnya usia seseorang membuat mereka menjadi keras kepala, lebih mempertahankan argumennya masing-masing. Rasanya risih mendengar hal tersebut namun saya coba mengabaikan hal tersebut dan berjalan ke pekarangan rumah disana saya bertemu dengan nenek dan kakek yang telah lanjut usia sedang bersiap menuju masjid. Kami pun bersama-sama pergi ke masjid untuk solat. Sepanjang perjalanan nenek dan kakek tersebut selalu mengingatkan akan pentingnya mendekatkan diri kepada Allah, kehati-hatian dalam memilih keputusan, dan beberapa nasihat hidup, salah satu nasihatnya yang beliau ucapkan

“Pada akhirnya setiap orang di dunia ini akan merasakan sakit, maka jangan bersedih, Semua orang hidup dengan menanggung dan memikul rasa sakit tersebut ”

“Keadilan itu harus diimbangi dengan rasa belas kasih karna jika tidak maka keadilan itu hanya alasan untuk menuntut balas. Seharusnya menuntut balas itu dipenuhi dengan semangat untuk hidup namun yang jadi  masalah saat ini orang menuntut balas dengan rasa benci di hatinya, sehingga hal ini menjadi akar dari masalah bersikap orang masa kini”


Sesampainya kami di masjid ternyata kakek dan nenek tersebut menghembuskan nafas terakhir, mereka belum sempat berpamitan dengan anak-anak dan cucu mereka di rumah. Akhirnya setelah disolatkan dan dikuburkan, saya menghampiri anak kakek dan nenek tersebut yang merupakan bapak dari anak kecil pengumpul stiker. Rasa kehilangan sangat tergambar di wajah bapak tersebut, setelah mengucapkan bela sungkawa dan berdoa, saya pun pergi pulang. Rasa kehilangan harus dilepaskan dengan tangis ikhlas akan penyesalan yang tak tersampaikan karena hidup manusia seperti itu kita tidak menyadari cinta kasih yang tulus selama hidup kita sampai cinta kasih itu hilang, lalu yang tertinggal hanya ucapan simpati yang kita tidak tahu letak ketulusannya dimana. Setelah kehilangan seseorang yang berarti di hidup kita, berlalunya waktu menjadi soal ketabahan hati. Maka bersabar dan tabahlah dalam menyikapinya.


Disusun untuk memenuhi tugas IBD paper 6
Oleh:
Rianti Nurindah Kuwais (17515678)
1PA14


0 komentar:

Posting Komentar